Minggu, 13 November 2011

Lelaki, Pendamlah Tangismu!

Hidup ini sendu berwajah pilu. Apa yang kita cari dalam kehidupan (kesenangan, pujian, harta, bahkan kebahagiaan), tak sanggup membayar semua yang kita inginkan dari kehadiran kita dalam paksaan kehidupan. Apakah tangis dan kepiluan akibat kesadaran yang sudah sesak harus ditahan lagi dalam fustasi-frustasi. Tangisan, karena tak sanggup menahan kekecewaan pada kehidupan ini?

Kesadaran pilu. Hanya letuup-letup sesaat. Lebih banyak waktu yang kita lewati tertarik pada irama hidup yang terus mengalun-alun, berputar-putar dalam ritme yang sepeti menarik, namun sebenarnya dapat ditebak. Hidup yang membosankan, namun tanpa daya kuasa, kita harua terus mendekati-mengalaminya. Karena kehidupan menuntut kita umpan balik dari keberanian orang-tua kita yang melahirkan kita dalam persenggamaan yang berhasil, di dunia. Kita tidak bersalah atas kelahiran, namun harus menanggung dosa dan beban kehidupan.
Ah,, haruskah kita cari celah untuk dapat bersyukur, seperti seorang pastur atau rabi, sufi atau sang filosof. Yang dalam kesadaran terus menerus memikirkan hidup, dengan sangat dekat?!

Banyak sekali ekspresi tingkah-polah, tindak, dalam mengalami kehidupan itu. Kadang manis senyum kita, harus marah, dan berperan seperti pemain opera dalam ribuan judul dan stage (panggung). Kitalah pemain-pemain opera tadi yang harus menderita terus menerus, karena kenyataan parodi hidup -lebih kerap berakhir tragedi dari pada heroik.

Alur Hidup
Kecil menjadi dewasa tua lalu bersiap-siap menyambut ajal yang siap menerima kita dalam lubang-lubangnya. Aha... ini akan terjadi pada siapa saja makhluk-makhluk yang hidup. Tak semut atau manusia siapapun. Mereka harus menerima pahitnya kematian, seperti halnya nikmatnya kebahagiaan dalam lahir di dunia.

Salatiga, 14 November
1:34

Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thank's a lot